JALAN ROKOK
Part 1
Cak Mabrur
sedang berjalan di trotoar jalan cakung tersebut. Ia terus saja berjalan, tak
sepatah katapun ia lontarkan dari bibirnya ketika ia sedang berjalan. Hanya
sebotol air mineral dalam genggamannya yang ia tenggak setiap 50 langkah. Lima puluh langkah berikutnya, ia tenggak lagi, begitu
seterusnya sampai tempat minum plastik itu habis artinya ia sudah sampai di
rumah kosnya. Memang, rumah kos Cak
Mabrur tidak jauh dari Proyek Kanal tempat ia bekerja, hanya sekitar 2 kilometer
dan tidaklah begitu melelahkan untuk pejalan kaki.
Ketika ia sedang berjalan, ia
melihat warung nasi-angkringan-sedang buka dan mulai berdatangan orang-orang
didalamnya. Lantas perutnya langsung mulai memberontak untuk diisi makanan
tersebut. Cak Mabrur pun tak dapat
menahannya. Lalu ia periksa kantungnya.
”Dina
iki ming entuk 15 ewu, yo wis lah rapopo!” gumam Cak Mabrur sambil berjalan
menuju angkringan. Pendapatannya hari itu memang tak begitu banyak. Ia digaji
di proyek Kanal berdasarkan keranjang batu yang dapat ia pindahkan ke truk
pengangkut batu. Dan ia dibayar sekitar 50 rupiah per keranjangnya. Jadi selama
satu hari tersebut ia berhasil mengangkut 300 keranjang besar berisi batu
seberat 20 kilogram per keranjangnya. Memang, pekerjaan tersebut tidak
memberikan upah yang berarti bagi Cak Mabrur, karena ia hanyalah seorang kuli
kasar, bahkan dihitung lebih kasar dari kuli-kuli lainnya. Belum lagi
penghasilan tersebut sebagian haruslah ia kirimkan ke Madura untuk sedikit membantu
ibu dan adik-adiknya, dan sebagian lagi untuk kehidupannya di Jakarta.
”Pesen
apa mas?, ada nasi sayur, nasi ikan, nasi teri, mau apa” kata penjual nasi
tersebut.
”Ada
nasi kuah, saya mau itu, kalau bisa kuahnya yang banyaknya. Harganya berapa?
”Kalau
itu, hanya bayar nasinya saja mas. 1000 rupiah saja.” jawab penjual nasi
tersebut sambil membuat es teh bagi orang lain.
”Saya
pesan satu.” jawab Cak Mabrur dengan logatnya yang khas.
”Minumnya
mas?”
”Rasah,
saya dah punya, nih!” jawab Cak Mabrur sambil memperlihatkan botol air
mineralnya. Memang, es teh
maupun teh panas memiliki harga Rp 1.500,- lebih mahal daripada harga makanan
Cak Mabrur.
“Baru
ya mas disini” tanya si penjual nasi yang akhirnya diketahui namanya adalah
Bang Sam, karena namanya Samiun, sambil ia menyiapkan makanan bagi Cak Mabrur.
“Baru datang 3 hari yang lalu mas. Saya
tinggal disana.” jawab Cak Mabrur sambil mengarahkan telunjuk kearah kemana ia
akan berjalan, yaitu ke tempat kosnya.
Sambil
bercakap-cakap, Cak Mabrur melahap nasi kuahnya dengan beringas. Bang Sam yang
melihat tingkah Cak Mabrur hanya tersenyum dengan sembari melirikan pandangan jenaka
pada orang lain di dalam warung angkringannya. Seakan Bang Sam ingin tertawa
terbahak-bahak melihat tingkah Cak Mabrur, namun karena merasa tidak enak
dengannya, ia hanya tersenyum dan bergumam saja sambil tangannya sibuk
mengurusi piring dan gelas dihadapannya.
Baru
3 menit ia duduk disitu, makanan dihadapan Cak Mabrur sudah habis tak tersisa,
tinggal tersisa piring dan sendok. Biasanya, di tanah kelahirannya, ia akan
merokok habis makan, merokok dengan tembakau yang ia ambil dari kebun dan
melintingnya dengan kertas koran. Namun, di ibukota Jakarta, ia hanya tertegun
melihat orang disebelahnya menghisap rokok dengan kardusnya yang bagus-bagus.
Ia ingin sekali mencoba dan merasakan rokok, rokok yang disebutnya rokok orang
kaya.
”Mau
coba mas, siapa tau di daerah mas yang macam kaya gini tidak dijual!” kata
seseorang disebelahnya yang penampilannya cukup meyakinkan untuk orang yang
merokok dengan gaya yang sangat mentereng, sembari menjulurkan bungkus rokoknya
kepada Cak Mabrur. Cak Mabrur menjadi sangat bahagia karena masih ada orang
yang mau menawarinya rokok, padahal ia berpikir tak akan merokok lagi jika ia
pindah ke Jakarta, karena tak punya uang.
”Matur
suwun, pak.” jawabnya secara terbata-bata karena masih sangat terkesima melihat
kebaikan orang tersebut. Akhirnya ia membakar rokoknya dan menghisapnya dengan
semangat.
”uhuk-uhuuuhul-uhhhuukkk!!”
Cak Mabrur batuk pada hisapan pertamanya.
”Hahahaha,
baru pertama kali mencoba rokok saya atau malah anda bukan perokok?” tanya
orang mentereng tersebut.
”Biasanya
saya tak pernah merokok semewah itu. Meskipun saya batuk, namun terima kasih
pak, sudah mau memberi saya.” kata Cak Mabrur sambil memegangi dadanya karena
sesak. Namun, tak jua ditinggalkannya rokok tersebut, ia tetap memegang rokok
tersebut dan sesekali menghisapnya. Lama kelamaan ia makin terbiasa dengan
rokok tersebut.
Selama
ia merokok tersebut, ia juga bercakap-cakap dengan orang yang memberinya rokok
tersebut. Ternyata namanya Maruli, orang Batak yang sangat khas dengan wajahnya
yang garang dan logatnya yang serba cepat. Percakapan Madura-Batak tersebut
berlangsung cukup lama, sampai-sampai hanya tertinggal kardus rokok dihadapan
mereka. Sekitar 3 jam mereka bercakap-cakap, seperti dua orang teman yang tak
lama bertemu. Mereka berbincang serius sekali, dengan masing-masing logat yang
kadang tidak mereka mengerti satu sama lain. Mereka berbicang di warung angkringan
di sore itu dari pukul 5 sampai jam 8 malam.
Ternyata,
Cak Mabrur ditawari pekerjaan oleh Pak Maruli, yang katanya adalah pemilik
sebuah bengkel di tempat yang tidak jauh dari angkringan tersebut. Cak Mabrur
ditawari oleh Pak Maruli menjadi pegawainya, meskipun Cak Mabrur belum memiliki
kemampuan apapun, karena masih sangat belia-18 tahun-dan baru pertama kali
menjejakkan kaki di dunia kerja sebagai kuli kasar di proyek kanal, bahkan baru
tiga hari. Namun karena upah yang mereka bicarakan disitu cukup tinggi, ia pun
akhirnya menyetujuinya. Dengan syarat Cak Mabrur harus datang ke bawah jembatan
yang ditunjukkan oleh Pak Maruli pukul 01.00 dinihari pada hari itu juga dan
tidak membawa apapun, hanya pakaian dan alas kaki saja. Syarat yang sangat
mudah itupun disetujuinya tanpa sedikitpun ada keraguan dalam hatinya.
Dinihari
yang buta itu, Cak Mabrur keluar dari kamar kosnya yang sangat mini, hanya
2x1,5 meter dengan dinding gedheg dan tanpa penerangan. Ia keluar dengan
menggunakan kaos oblong dan celana tanggung yang biasa ia kenakan tiap hari. Ia
segera menuju ke bawah jembatan yang ditentukan untuk menemui Pak Maruli.
”Bagaimana,
apakah kamu sudah siap menjalani pekerjaan ini, dengan segala apapun
resikonya?” tanya Pak Maruli dengan pandangan yang agak aneh dan suara yang
lirih.
”nggih
saya pasti siap, Pak. Yang penting saya cepat dapat duit.” lirih Cak Mabrur
dengan muka penuh yakin.
”Oke,
sekarang pergilah menuju lubang air yang tertutup besi berwarna biru itu. Buka
besinya dengan cepat dan dengan tak ada suara dan masuklah kedalamnya. Disana
akan ada beberapa orang dan turuti saja semua perintahnya!” lirih Pak Maruli.
”Baik
pak”
Segera
Cak Mabrur berlari tanpa suara sedikitpun menuju ke lubang air yang tertutup
besi berwarna biru tersebut. Setelah membuka dan masuk dengan cepat, ia
mengembalikan tutup besi itu seperti semula. Tetapi tak ada seorang pun disitu.
Yang ada hanyalah tempat gelap berisi bungkusan-bungkusan yang aneh. Cak Mabrur
semakin bingung dengan situasi tersebut. Namun tiba-tiba......
”Anda
sudah datang, sekarang cepat bawa 1 bungkusan ini dan setelah itu cepat naiklah
mobil tersebut!” suara yang sangat berat memenuhi kuping kiri Cak Mabrur. Tanpa
berkata-kata, Cak Mabrur yang sedikit ketakutan dengan situasi dan suara
tersebut langsung mengambil satu bungkusan tersebut dan langsung naik ke mobil
besar berplat tak seperti biasanya.
Didalam
mobil, Cak Mabrur yang masih bingung ditambah ketakutan tinggi terus saja
mengucap doa yang ibunya ajarkan di tanah kelahirannya dulu. Ia tidak tahu apa
yang sedang ia kerjakan. Yang ia tahu hanyalah bagaimana cara untuk mendapatkan
uang, seperti yang dijanjikan oleh Pak Maruli sore tadi. Ia di mobil itu hanya
bersama seorang supir berpakaian hitam dan juga berkacamata hitam, sehingga
tampak sangat menakutkan baginya. Setelah beberapa menit berjalan, mobil itu
berhenti di sebuah rumah yang sangat mewah dan tak pernah dilihat oleh Cak
Mabrur sebelumnya
”Sekarang
taruhlah bungkusan ini di kotak pos tersebut dan ambil amplop yang berada di
bawah pot besar berwarna merah, dan langsung masuk ke mobil ini. Bergeraklah
dengan cepat!” tukas sopir tersebut secara tegang.
Langsung saja ia keluar
dari mobil, melaksanakan tugasnya, dan kembali ke mobil tersebut. Mobil
tersebut berjalan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hanya 5 menit, mobil itu
sudah sampai ke tempat semula, yaitu tempat lubang air tadi. Cak Mabrur
langsung keluar dari mobil dan didapatinya Pak Maruli bersama 3 orang lain
ditempat itu.bersambung. ini cerpen pertamaku......
Posting Komentar